Manfaat dan Masalah Lockdown Saat Pandemi Terjadi

Ilustrasi lockdown

Belakangan ini kita sering mendengar istilah lock down atau dapat diartikan secara istilah mengunci semua akses baik akses masuk maupun keluar sebuah kota, provinsi, maupun negara yang melakukan lockdown. Mungkin istilah Lockdown terdengar simpel tapi pada kenyataannya banyak timbul masalah dan juga manfaat terutama dalam hal ekonomi sebuah negara.

Di Italia, misalnya. Hanya dalam dua minggu angka positif pasien bisa melonjak begitu drastis. Pada tanggal 22 Februari 2020, menurut grafik yang diterbitkan lembaga kesehatan dunia World Health Organization (WHO), negara itu hanya memiliki 11 kasus positif.

Lalu dua minggu kemudian, yaitu tanggal 6 Maret 2020, angkanya melonjak menjadi 3.900-an kasus. Terbaru, hingga 18 Maret 2020 atau dua minggu setelahnya, angka pasien positif COVID-19 di Italia sudah mencapai angka 35.713 orang.

Hal ini membuat pemerintah negara itu memberlakukan lockdown secara skala nasional untuk menahan laju penyebaran virus.

[ads id="ads1"]

Apakah lockdown mampu mengendalikan penyebaran pandemi COVID-19?


Berkaca pada Tiongkok yang melakukan lockdown pada provinsi Hubei. Menurut catatan Bloomberg, per 19 Maret 2020, Provinsi Hubei melaporkan tidak ada kasus infeksi COVID-19 baru di wilayahnya. Provinsi Hubei merupakan area pusat penyebaran virus corona, dengan Wuhan sebagai ibukotanya.

Sebaliknya, secara nasional, angka infeksi virus corona di Tiongkok masih bertambah sebanyak 34 kasus. Namun, sebagian besarnya merupakan imported case atau berasal dari orang yang baru pulang dari luar negeri.

Lantas, apakah ini satu-satunya jalan? Jawabannya adalah belum tentu juga. Negara seperti Singapura dan Korea Selatan sejauh ini tidak memberlakukan lockdown dan mereka tetap mampu menahan laju persebaran dengan tingkat kematian akibat COVID-19 yang rendah.

Manfaat Lockdown

Tujuan diberlakukannya lockdown untuk mengurangi potensi penyebaran virus. Dengan cara menjauhkan kontak sosial dan kontak fisik. Kita tidak tahu apakah kita membawa virus SARS-Cov-2 yang dapat menyebabkan penyakit COVID-19 atau tidak. Karena walau masih dalam masa inkubasi, virus ini dapat menular kepada orang lain. Sehingga penduduk perlu meminimalisir berada dalam kerumunan.

Lockdown sudah berlaku di China dan Italia. Setelah memberlakukan lockdown, Wuhan telah merayakan keberhasilannya mengatasi virus corona, dengan menutup rumah sakit sementara. Sebanyak 60.112 pasien berhasil disembuhkan.

Italia melakukan lockdown satu negara. Hal ini diakibatkan karena 10 ribu penduduk zona merah terinfeksi virus, pulang ke kampung halaman masing-masing, penyebaran terjadi semakin cepat. Banyak pasien yang harus dikorbankan, karena jumlah pasien yang terus membeludak, sedangkan kapasitas rumah sakit dan tenaga kesehatan tidak memadai. Bahkan dokter dan perawat pun sampai ada yang positif terinfeksi.

[ads id="ads2"]

Masalah dan Resiko Lockdown

Lockdown ampuh menahan laju persebaran virus. Sebab dengan lockdown, masyarakat mau tidak mau harus berdiam diri di rumah. Toko-toko tutup, kantor, sekolah, hingga pusat ibadah pun sama. Kebijakan ini membuat virus tidak bisa dengan mudah menempel dari satu orang ke orang lainnya.

Namun di balik kebijakan tersebut, juga muncul berbagai masalah baru, mulai dari sisi ekonomi hingga kesehatan. Dilansir dari NPR, Dr. Laura Hawryluck, profesor bidang kedokteran perawatan kritis dari University of Toronto, mengatakan bahwa banyak warga di Wuhan yang sebenarnya tidak sakit secara fisik, mengalami gangguan kecemasan yang parah, perasaan terisolasi dan stres sejak kebijakan lockdown dijalankan.

Laura menambahkan bawah stres yang dirasakan merupakan akumulasi dari rasa takut tertular penyakit, rasa takut menularkan ke orang terdekat, dan kecemasan soal penghasilan yang hilang tiba-tiba, karena mereka sudah tidak lagi bisa bekerja.

Tanpa lockdown pun, pandemi virus corona sudah memicu masalah mental yang cukup serius. Penelitan lain yang dilakukan di Tiongkok menyebutkan bahwa penyebaran penyakit ini memicu naiknya angka berbagai masalah mental, terutama depresi, gangguan kecemasan, dan gangguan panik.

Penelitian ini dilakukan pada 52.730 orang responden dari 36 Provinsi di Tiongkok. Selain itu, penelitan juga mengikutsertakan responden yang berasal dari Macau, Taiwan, dan Hongkong.

Dari total jumlah tersebut, responden yang berusia di bawah 18 tahun memiliki tingkat stres yang paling rendah. Para ahli mengemukakan, hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, tingkat penularan dan kematian akibat COVID-19 untuk rentang usia tersebut tergolong rendah. Kedua, minimnya paparan terhadap virus akibat kebijakan karantina dari negara.

Sementara itu, tingkat stres paling tinggi, tercatat pada responden berusia 18-30 tahun serta yang berusia di atas 60 tahun. Tahukah apa faktor utama orang berusia 18-30 tahun memiliki tingkat stres yang tinggi terkait corona? Menurut penelitan tersebut, hal ini disebabkan karena mereka secara mudah mendapatkan informasi mengenai penyakit ini dari media sosial, yang sifatnya mudah memicu stres.

Sementara itu pada orang berusia di atas 60 tahun, tingginya tingkat stres disebabkan oleh statistik penyakit yang menyebutkan bahwa lansia lah yang paling rentan tertular dan lebih berisiko mengalami keparahan kondisi, apabila tertular.

Selain dampak secara mental, kebijakan lockdown juga berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan setempat. Di Tiongkok, misalnya. Saat Provinsi Hubei mengalami lockdown, pemerintah setempat mengirim ribuan tenaga medis ke area tersebut untuk bisa menangani para pasien COVID-19 sebelum virus menyebar lebih jauh.

Akibatnya, tenaga medis di daerah lain berkurang, dan menyebabkan perawatan di fasilitas kesehatan tidak bisa berjalan seefektif biasanya. Padahal kita tahu, COVID-19 bukanlah satu-satunya penyakit yang saat ini ada di dunia.

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama